Monday, April 8, 2013

Selamatkan Indonesia dengan Tawa


BOLEH saja orang menyebut mati suri, hidup enggan mati pun tak hendak, atau istilah senada lain. Tapi pemilik pabrik tawa itu mengistilahkan, tak memiliki wadah lagi. Perjalanan panjang Srimulat sejak tahun 50-an, tampaknya mengalami masa surut.

Pilihan pemanggungan dengan dramaturgi dardanela, tak kuasa membendung gelegak seni modern yang lebih menawarkan daya pikat instan. Belum lagi desakan media siar kaya warna. Begitu berragam pilihan hiburan, sedikit banyak ikut mengantarkan Srimulat yang pernah berjaya hingga tahun 1980-an, tenggelam dimakan zaman.

Namun nama besar Srimulat, selalu saja menggeletik kalangan entertainer, mengangkat kembali dalam pola pemanggungan alternatif, mulai pentas reuni, kethoprak humor, sinetron hingga film layar lebar. Semua tak mampu mengangkat kembali sosok Srimulat sebagai sebuah grup pabrik tawa dengan pentas rutin sebagaimana masa jaya. Bahkan, Jujuk Juwariyah, penerus dinasti Srimulat, mengaku tak berani berspekulasi menghidupkan kembali grup ini, termasuk di Solo sebagai kota kelahiran, karena dihantui animo penonton.

Kalaupun sekarang Magma Entertainment mengangkat Srimulat dalam bentuk layar lebar dengan tajuk Finding Srimulat, menurut Jujuk menjelang premiere film yang disutradarai Charles Gozali, di Omah Sinten, Sabtu (30/3), lebih sebagai bentuk penghormatan. Pun sebagai penghormatan kepada warga Solo, film Finding Srimulat diputar perdana secara gratis di Pamedan Pura Mangkunegaran degan model layar tancap, sebuah tradisi yang menyimpang dari premiere produksi pada umumnya yang memanfaatkan gedung megah serta undangan khusus. Sayangnya, hujan deras mengguyur, hingga pemutaran Finding Sriuat dipindahkan ke Studio Omah Sinten.

Minimal, menurut Jujuk, pelibatan personal Srimulat yang kini tersebar di sejumlah grup lawak, seperti Tarzan, Gogon, Nunung, Tessy, Mamiek Prakoso, Kadir, dan sebagainya, cukup menjadi pengobat rindu sembari sedikit berharap suatu saat padu kembali dalam satu grup lawak seperti masa jayanya.

Pola garap film Finding Srimulat itu sendiri, menurut sutradara, Charles Gozali, sangat berbeda dengan sinetron atau film layar lebar yang pernah diproduksi. Setidaknya, dia menggabungkan pola pemanggungan Srimulat yang tanpa scipt dengan tuntutan skenario yang lazim dalam produksi film. Pun materi cerita tak melulu sebuah pemanggungan Srimulat, namun  dilengkapi pula sisi kehidupan pribadi pemain Srimulat yang selama ini mungkin tak pernah terangkat ke permukaan.

Begitu rumit proses produksi Finding Srimulat, harus memakan waktu hingga 3 tahun, sebuah produksi film yang cukup lama untuk ukuran film Indonesia yang acapkalai dibuat secara instan. Kendala setiap saat menghadang, termasuk proses editing. Ketika para apemain diberi keleluasaan berimprovisasi sesuai duniia pemanggungan Srimulat, Gozali memberi gambaran, durasi molor hingga dua setengah jam, padahal kebutuhan hanya 100 menit.

Untuk mengedit scene bukanlah yang gampang, sebab menyangkut alur cerita, aspek humor dan sebagainya. "Sungguh, ini sesuatu yang tak terduga sebelumnya, dan itu menjadi pelajaran menarik, ketika produksi film menggabungkan aspek skenario dengan kebebasan berimprovisasi," ujarnya, sembari menyebut, garapan elemen kehidupan pribadi pemain di balik panggung yang diperankan secara langsung yang bersangkutan, menawarkan sisi kekuatan cerita itu tersendiri.

0 comments:

Post a Comment